Hidup adalah misteri dan sampai
kapanpun akan tetap menjadi misteri, tanpa henti manusia berusaha
menelaah setiap peristiwa yang terjadi dan kemudian membangun teori
dengan anggapan paling benar. Namun waktu mengajari manusia bahwa
kebenaran tidak abadi, teori baru meruntuhkan teori lama seperti halnya
revolusi meruntuhkan sebuah dinasti.
Apabila ditarik kebelakang, dengan
seksama kita akan menemukan banyak pertentangan antara satu individu
dengan individu lainnya, kelompok dengan kelompok lainnya, bahkan antara
peradaban sekalipun. Seperti halnya Abad Pertengahan dan Renaisans yang
jelas kontradiktif (meskipun saat itu orang-orang tidak menyadarinya).
Sekitar 1997-1822 SM Ibrāhīm
[ʔibraːˈhiːm] dari Mesopotamia menanyakan siapa tuhan yang selama ini
disembah manusia. Perjalanan panjang mengantarkan dirinya pada
pembelajaran mengenal tuhan secara rasional setelah sekian lama – sejak
Adam – manusia hanya dikenalkan pada Tuhan melalui dogma dan kepercayaan
yang berpangkal pada hati. Beberapa kisah Ibrahim atau yang dikenal
Abraham dalam alkitab menunjukkan karakter rasionalitas yang kuat pada
dirinya, salah satu diantaranya adalah perdebatan dengan ayahnya[1] ,
ibrahim – dalam kalimatnya “Tanyakan saja pada berhala yang paling
besar itu, siapa yang menghancurkan mereka (patung lainnya)?”
–mengiindikasikan bahwa rasionalitas adalah hal yang penting.
Namun jauh sebelum kisah Ibrahim menginspirasi para filsuf untuk mempertanyakan segala sesuatu dengan akal, Kisah Adam[2] tidak kalah menarik minat para pengkaji filsafat. Jostein Gaarder[3] dalam buku Cicelia dan Malaikat Ariel – pemikiran
filsafat yang dituangkan dalam novel – memandang Adam ketika di surga
adalah seorang remaja yang memiliki rasa penasaran tinggi sehingga
berujung untuk menocoba memakan buah yang konon dilarang oleh tuhan.
Dalam hal ini Gaarder ingin menyampaikan bahwa adam mengikuti akalnya
dibanding iman pada tuhan, terlepas salah ataupun benarnya secara dogma
agama namun hikmah yang kemudian diambil adalah motivasi belajar dan
mencari kebenaran lewat akal sangat diperlukan.
Mayoritas
agama pada umumnya menempatkan hati sebagai instrument utama mengenali
hakikat Tuhan dan alam semesta, pertentangan yang kemudian menjadi
perhelatan akbar dan dikenal sebagai peperangan abadi – The Immortal of War –
sejatinya tidak dapat dimenangi oleh siapapun namun secara gradual
tetap diperjuangkan hingga saat ini dan di bahas dalam setiap displin
ilmu. Misalnya dalam sosiologi, kita mengenal teori tindakan sosial yang
dikemukakan Max Weber[4] dan teori fakta sosial yang dikemukakan oleh Emile Durkheim[5].
Pemikiran keduanya sampai saat ini masih banyak diperdebatkan. Didalam
agama islam sendiri terdapat perdebatan panjang yang tidak berkesudahan
terjadi antara Qadariyat dan jabariyat, atau didalam Ilmu Politik misalnya kita dikenalkan kedalam dua bentuk negara yang sangat bertolak belakang yaitu antara Teokrasi dan Demokrasi. Sedangkan
dalam skala yang lebih besar dua peradaban yang bertolak belakang dalam
sejarah yaitu Abad Pertengahan dan Renaisans merupakan contoh besar
dari perdebatan klasik antara Idealis dan Rasionalis.
Teori tindakan sosial misalnya, terbentuk ketika awal mula Peradaban Renaisans[6] sehingga
manusia secara individu dapat menentukan nasibnya bahkan manusialah
yang menentukan sistem masyarakat. Pemikiran ini dalam islam dikenal
dengan faham Qadariyat Yaitu aliran
atau paham teologi yang percaya bahwa segala tindakan dan perbuatan
manusia itu terjadi tanpa ada campur tangan Tuhan, artinya manusia bebas
melakukan apa saja sesuai dengan keinginannya. Aliran ini berpendapat
bahwa setiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat
berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Baik
tindakan sosial ataupun faham qadariyat, keduanya memiliki sat kesamaan
yang menempatkan akal pada urutan lebih tinggi sehingga manusia tanpa interfensi tuhan
ataupun sistem masyarakat dapat menentukan nasibnya sendiri. Dampak
dari hal ini dalam ilmu politik adalah terbentuknya sebuah bentuk negara
yang demokrasi dimana hak asasi manusia dijunjung tinggi. Dan dalam
skala yang lebih besar, di zaman Renaisansterdapat pandangan positivis
yaitu manusia percaya bahwa dirinya dapat memahami alam semesta serta
dapat melakukan apapun yang mereka inginkan.
Di kubu yang bersebrangan, dimana hati atau Qalb menjadi
pijakan dalam memahami segala sesuatu tentulah selalu berlawanan dengan
golongan-golongan diatas. Fakta sosial yang merupakan teori dari
Durkheim memberikan pemahaman bahwa tindakan manusia dipengaruhi oleh
nila-nilai yang ada dalam masyarakat, dalam hal ini manusia tidak
memiliki pilihan lain kecuali memerankan fungsinya sebagai manusia
dipaksa melakukan sesuatu. Seperti halnya faham Qadariyat,
Asy-Syarastani[7] menegaskan bahwa paham al-Jabr berarti
menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan
menyandarkannya kepada Allah SWT. Dengan kata lain manusia mengerjakan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Sama halnya tindakan sosial dan
qadariyat, konsekuensi logis dari fakta sosial dan faham jabariyat
adalah sebuah bentuk negara yang yang dinamakan Teokrasi atau negara
berupa hadiah dari tuhan dan harus tunduk pada perintah tuhan. Hal ini
terjadi di abad pertengahan ketika Romawi kalah perang dan meminta
bantuan pada Gereja sehingga saat itu kedudukan gereja adalah diatas
segalanya dan semua warga negara harus tunduk pada kekuasaan Paus yang
merupakan utusan Tuhan.
Perhelatan akbar atau peperangan
abadi ini yang menjadi warisan dari setiap generasi, dunia seolah
terbagi dua : sebagian percaya bahwa Tuhan telah mengatur seluruh
kehidupan melalui peradaban, negara, masyarakat serta lingkungan.
Semuanya merupak satu kesatuan yang berjalan seperti halnya sistem tubuh
manusia dimana setiap orang mempunyai peran masing-masing dan orang itu
tidak mempunyai pilihan selain melakukan perannya. Namun sebagian yang
lain berada di posisi yang berlawan dengan paham fosotivisme, percaya
bahwa tuhan tidak memiliki hak menginterfensi siapapun.
Meskipun banyak tokoh yang mencoba mendamaikan kedua kubu ini, namun pada kenyataannya kedua kubu ini tetap Survive dengan
contoh-contoh yang berbeda dari masa ke masa namun memiliki kesamaan
apabila diruntutukan dari segi sejarah dan kesamaan pemahaman. Ilmu
pengetahuan misalnya yang diprediksi dapat menyatukan kedua kubu,
seperti halnya dikatan Einstein “Religion without science is lam , Science without religion is blind” tetapi tidak dapat dipungkir dua kubu ini seolah menutup mata antara satu dengan yang lainnya.
Realita sederhana, akhir-akhir ini pesantren-pesantren yang memiliki faham fundamental[8] melarang
santrinya untuk menjadi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Perintah ini bukan tanpa alasan, melainkan kultur yang dibentuk di dalam
Perkuliahan juga lingkungan adalah tardisi diksusi yang menempatkan
akal dalam porsi lebih dibandingkan aspek spiritual. Tentu hal ini
merupakan salah satu dari sekian dampak kronologis sejarah yang panjang
mengenai perhelatan akbar atau peperangan abadi diatas.
Golongan tengah pun pada hakikatnya
tidak benar-benar berada di garis tengah atau angka 3 dari angka 1
sampai 5, Telcot Persons misalnya yang mencoba menggabungkan dua
pemahaman bertolak belakang antara Max Weber dan Emile Durkheim pada
akhirnya cenderung memihak pada teori fakta sosial milik Durkheim.
Dewasa ini, menggabungkan kedua
kutub yang seling bertentangan bukanlah solusi utama, karena tidak ada
cara untuk menggabungkan air dan minyak atau air dan api. Ir. Soekarno
sepertinya sejatinya menempatkan Indonesia untuk menjadi negara non
blok, prinsipnya bukna berarti tidak mengikuti keduanya[9] melainkan mengambil kebaikan dari setiap kebenaran yang ada. Dalam hal ini perkataan Aristhoteles akan menjelaskannya: Amicus Plato, sed magis Amica yang artinya “Plato Kukasihi, tapi aku lebih mengasihi kebenaran”.
Ahmad Dahlan yang merupakan tokoh
pahlawan indonesia juga pendiri organisasi Muhammadiyah telah
meralisasikan solusi ini jauh sebelum indonesia merdeka. Dia mengambil
ajaran yang menurutnya baik serta relevan, tidak peduli madzhab manapun.
Cara inilah yang kemudian diadopsi oleh banyak golongan tengah,
meskipun dikemudian hari terdapat pandangan miring yang mengatakan bahwa
solusi ini juga cenderung pada salah satu kubu.
Namun sebagaimana dihadapkan pada statement pembuka,
hidup adalah misteri dan perhelatan ini merupakan peperangan abadi yang
tidak bisa dimenangkan namun tetap harus diperjuangkan. Bagaimanapun
solusinya saat ini, tidak ada kebenaran abadi dari sebuah teori karena
sejarah senantiasa membantah satu sama lain, namun bukan berarti mereka
semua salah. Menurut socrates kebenaran dan keadilan itu adalah relatif.
[2] Adam yang diceritakan memakan “Buah Terlarang” diusir dari surga bersama Hawa ke bumi
[3] The Best Author of Shopie’s World (Norwegian : Sofies Verden),1991, Norwegian: Berkley Books.
[5] The Rules of Sociological Method
[7] Al-syahrastani,op,cit,hlm.85
[8] Pandangan keras yang mencoba melestarikan pokok-pokok atau prinsip ajaran terdahulu.
http://menyapatuhan.blogspot.com/2013/10/the-immortal-of-war.html
0 komentar:
Posting Komentar