The Immortal of War

by 04.52 0 komentar

Hidup adalah misteri dan sampai kapanpun akan tetap menjadi misteri, tanpa henti manusia berusaha menelaah setiap peristiwa yang terjadi dan kemudian membangun teori dengan anggapan paling benar. Namun waktu mengajari manusia bahwa kebenaran tidak abadi, teori baru meruntuhkan teori lama seperti halnya revolusi meruntuhkan sebuah dinasti.

Apabila ditarik kebelakang, dengan seksama kita akan menemukan banyak pertentangan antara satu individu dengan individu lainnya, kelompok dengan kelompok lainnya, bahkan antara peradaban sekalipun. Seperti halnya Abad Pertengahan dan Renaisans yang jelas kontradiktif (meskipun saat itu orang-orang tidak menyadarinya).

Sekitar 1997-1822 SM Ibrāhīm [ʔibraːˈhiːm] dari Mesopotamia menanyakan siapa tuhan yang selama ini disembah manusia. Perjalanan panjang mengantarkan dirinya pada pembelajaran mengenal tuhan secara rasional setelah sekian lama – sejak Adam – manusia hanya dikenalkan pada Tuhan melalui dogma dan kepercayaan yang berpangkal pada hati.  Beberapa kisah Ibrahim atau yang dikenal Abraham dalam alkitab menunjukkan karakter rasionalitas yang kuat pada dirinya, salah satu diantaranya adalah perdebatan dengan ayahnya[1] , ibrahim – dalam kalimatnya “Tanyakan saja pada berhala yang paling besar itu, siapa yang menghancurkan mereka (patung lainnya)?” –mengiindikasikan bahwa rasionalitas adalah hal yang penting.

Namun jauh sebelum kisah Ibrahim menginspirasi para filsuf untuk mempertanyakan segala sesuatu dengan akal, Kisah Adam[2] tidak kalah menarik minat para pengkaji filsafat. Jostein Gaarder[3] dalam buku Cicelia dan Malaikat Ariel – pemikiran filsafat yang dituangkan dalam novel – memandang Adam ketika di surga adalah seorang remaja yang memiliki rasa penasaran tinggi sehingga berujung untuk menocoba memakan buah yang konon dilarang oleh tuhan. Dalam hal ini Gaarder ingin menyampaikan bahwa adam mengikuti akalnya dibanding iman pada tuhan, terlepas salah ataupun benarnya secara dogma agama namun hikmah yang kemudian diambil adalah motivasi belajar dan mencari kebenaran lewat akal sangat diperlukan.

Mayoritas agama pada umumnya menempatkan hati sebagai instrument utama mengenali hakikat Tuhan dan alam semesta, pertentangan yang kemudian menjadi perhelatan akbar dan dikenal sebagai peperangan abadi – The Immortal of War – sejatinya tidak dapat dimenangi oleh siapapun namun secara gradual tetap diperjuangkan hingga saat ini dan di bahas dalam setiap displin ilmu. Misalnya dalam sosiologi, kita mengenal teori tindakan sosial yang dikemukakan Max Weber[4] dan teori fakta sosial yang dikemukakan oleh Emile Durkheim[5]. Pemikiran keduanya sampai saat ini masih banyak diperdebatkan. Didalam agama islam sendiri terdapat perdebatan panjang yang tidak berkesudahan terjadi antara Qadariyat dan jabariyat, atau didalam Ilmu Politik misalnya kita dikenalkan kedalam dua bentuk negara yang sangat bertolak belakang yaitu antara Teokrasi  dan Demokrasi. Sedangkan dalam skala yang lebih besar dua peradaban yang bertolak belakang dalam sejarah yaitu Abad Pertengahan dan Renaisans merupakan contoh besar dari perdebatan klasik antara Idealis dan Rasionalis.

Teori tindakan sosial misalnya, terbentuk ketika awal mula Peradaban Renaisans[6] sehingga manusia secara individu dapat menentukan nasibnya bahkan manusialah yang menentukan sistem masyarakat. Pemikiran ini dalam islam dikenal dengan faham Qadariyat Yaitu aliran atau paham teologi yang percaya bahwa segala tindakan dan perbuatan manusia itu terjadi tanpa ada campur tangan Tuhan, artinya manusia bebas melakukan apa saja sesuai dengan keinginannya. Aliran ini berpendapat bahwa setiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.  Baik tindakan sosial ataupun faham qadariyat, keduanya memiliki sat kesamaan yang menempatkan akal pada urutan lebih tinggi sehingga manusia tanpa interfensi tuhan ataupun sistem masyarakat dapat menentukan nasibnya sendiri. Dampak dari hal ini dalam ilmu politik adalah terbentuknya sebuah bentuk negara yang demokrasi dimana hak asasi manusia dijunjung tinggi.  Dan dalam skala yang lebih besar, di zaman Renaisansterdapat pandangan positivis yaitu manusia percaya bahwa dirinya dapat memahami alam semesta serta dapat melakukan apapun yang mereka inginkan.

Di kubu yang bersebrangan, dimana hati atau Qalb menjadi pijakan dalam memahami segala sesuatu tentulah selalu berlawanan dengan golongan-golongan diatas. Fakta sosial yang merupakan teori dari Durkheim memberikan pemahaman bahwa tindakan manusia dipengaruhi oleh nila-nilai yang ada dalam masyarakat, dalam hal ini manusia tidak memiliki pilihan lain kecuali memerankan fungsinya sebagai manusia dipaksa melakukan sesuatu. Seperti halnya faham Qadariyat, Asy-Syarastani[7] menegaskan bahwa  paham al-Jabr berarti menghilangkan  perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah SWT. Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Sama halnya tindakan sosial dan qadariyat, konsekuensi logis dari fakta sosial dan faham jabariyat adalah sebuah bentuk negara yang yang dinamakan Teokrasi atau negara berupa hadiah dari tuhan dan harus tunduk pada perintah tuhan. Hal ini terjadi di abad pertengahan ketika Romawi kalah perang dan meminta bantuan pada Gereja sehingga saat itu kedudukan gereja adalah diatas segalanya dan semua warga negara harus tunduk pada kekuasaan Paus yang merupakan utusan Tuhan.

Perhelatan akbar atau peperangan abadi ini yang menjadi warisan dari setiap generasi, dunia seolah terbagi dua : sebagian percaya bahwa Tuhan telah mengatur seluruh kehidupan melalui peradaban, negara, masyarakat serta lingkungan. Semuanya merupak satu kesatuan yang berjalan seperti halnya sistem tubuh manusia dimana setiap orang mempunyai peran masing-masing dan orang itu tidak mempunyai pilihan selain melakukan perannya. Namun sebagian yang lain berada di posisi yang berlawan dengan paham fosotivisme, percaya bahwa tuhan tidak memiliki hak menginterfensi siapapun.

Meskipun banyak tokoh yang mencoba mendamaikan kedua kubu ini, namun pada kenyataannya kedua kubu ini tetap Survive dengan contoh-contoh yang berbeda dari masa ke masa namun memiliki kesamaan apabila diruntutukan dari segi sejarah dan kesamaan pemahaman. Ilmu pengetahuan misalnya yang diprediksi dapat menyatukan kedua kubu, seperti halnya dikatan Einstein “Religion without science is lam , Science without religion is blind” tetapi tidak dapat dipungkir dua kubu ini seolah menutup mata antara satu dengan yang lainnya.

Realita sederhana, akhir-akhir ini pesantren-pesantren yang memiliki faham fundamental[8] melarang santrinya untuk menjadi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Perintah ini bukan tanpa alasan, melainkan kultur yang dibentuk di dalam Perkuliahan juga lingkungan adalah tardisi diksusi yang menempatkan akal dalam porsi lebih dibandingkan aspek spiritual. Tentu hal ini merupakan salah satu dari sekian dampak  kronologis sejarah yang panjang mengenai perhelatan akbar atau peperangan abadi diatas.

Golongan tengah pun pada hakikatnya tidak benar-benar berada di garis tengah atau angka 3 dari angka 1 sampai 5, Telcot Persons misalnya yang mencoba menggabungkan dua pemahaman bertolak belakang antara Max Weber dan Emile Durkheim pada akhirnya cenderung memihak pada teori fakta sosial milik Durkheim.

Dewasa ini, menggabungkan kedua kutub yang seling bertentangan bukanlah solusi utama, karena tidak ada cara untuk menggabungkan air dan minyak atau air dan api. Ir. Soekarno sepertinya sejatinya menempatkan Indonesia untuk menjadi negara non blok, prinsipnya bukna berarti tidak mengikuti keduanya[9] melainkan mengambil kebaikan dari setiap kebenaran yang ada. Dalam hal ini perkataan Aristhoteles akan menjelaskannya: Amicus Plato, sed magis Amica yang artinya “Plato Kukasihi, tapi aku lebih mengasihi kebenaran”.

Ahmad Dahlan yang merupakan tokoh pahlawan indonesia juga pendiri organisasi Muhammadiyah telah meralisasikan solusi ini jauh sebelum indonesia merdeka. Dia mengambil ajaran yang menurutnya baik serta relevan, tidak peduli madzhab manapun. Cara inilah yang kemudian diadopsi oleh banyak golongan tengah, meskipun dikemudian hari terdapat pandangan miring yang mengatakan bahwa solusi ini juga cenderung pada salah satu kubu.
Namun sebagaimana dihadapkan pada statement pembuka, hidup adalah misteri dan perhelatan ini merupakan peperangan abadi yang tidak bisa dimenangkan namun tetap harus diperjuangkan. Bagaimanapun solusinya saat ini, tidak ada kebenaran abadi dari sebuah teori karena sejarah senantiasa membantah satu sama lain, namun bukan berarti mereka semua salah. Menurut socrates kebenaran dan keadilan itu adalah relatif.



[1] Ibrahim menghancurkan seluruh berhala dan menyisakkan satu yang terbesar diantara yang lainnya.

[2] Adam yang diceritakan memakan “Buah Terlarang” diusir dari surga bersama Hawa ke bumi
[3] The Best Author of Shopie’s World (Norwegian : Sofies Verden),1991, Norwegian: Berkley Books.
[5] The Rules of Sociological Method                                                                                                   
[6] Zaman Renaisans adalah zaman kelahiran-kembali (Renaissance, bahasa Perancis) kebudayaan Yunani-Romawi di Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 M.
[7] Al-syahrastani,op,cit,hlm.85
[8] Pandangan keras yang mencoba melestarikan pokok-pokok atau prinsip ajaran terdahulu.
[9] Amerika Serikat dan Uni Soviet.



http://menyapatuhan.blogspot.com/2013/10/the-immortal-of-war.html

Unknown

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar