Humanistik

by 04.15 0 komentar

Analisis Kasus dengan Pendekatan Teori Humanistik


Kesulitan Penyesuaian Diri Mahasiswi “S” dalam kehidupan kampus
S, berusia 22 tahun, mahasiswi tingkat 1, mengalami ancaman DO. Dari hasil evaluasi 7 minggu pertama `ternyata nilai dari semua mata kuliah yang di ambilnya tidak memenuhi persyaratan lulus ke tingkat 2. PA memebritahu hal ini dengan tujuan dia bias mengejar nilainya, dengan belajar yang lebih alkif agar tidak terancam DO.
Dari hasil evaluasi 4 mata kuliahnya, S memperoleh 2 nilai C dan 2 nilai D. Dia sangat menyadari bahwa dia akan sulit untuk mendapat nilai yang baik untuk ke dua mata kuliahnya tersebut. Kenyataannya ini membuat S merasa sangat stress, hingga kadang dia merasa ingin bunuh diri, karena merasa takut gagal.
Dalam pergaulan dengan teman2nya S selalu merasa minder. Ketika kuliah di kelas besar, dia selalu memilih duduk di barisan yang paling belakang dan dia jarang bergaul dengan teman2 seangkatannya. Dia selalu merasa dirinya kuno, karena menurutnya S selalu berpakaian yang tidak fashionable . Akibatnya S selalu menyendiri dan lebih senang berada di perpustakaan daripada bergaul dengan teman2nya.
S lebih nyaman ketika m,asih duduk di bangku SMA, dimana kelasnya lebih kecil dan hubungan di antara siswa di rasakannya lebih akrab.
S, merupakan anak ke 2 dari dua bersaudara (keduanya wanita). Kakaknya berusia 2 tahun lebih tua darinya, dan mempunyai prestasi akademis yang cukup “cemerlang” di fakultas yang sama. Walaupun orangtua tidak pernah membandingkan kemampuan ke dua anaknya, tetapi S merasa bahwa kakaknya mempunyai kelebihan di segala bidang, di bandingkan dengan dirinya.

 Teori Humanistik
Menurut aliran humanistik-eksistensial kasus “S” bukan hanya sekedar masalah yang bersifat individual, tetapi juga merupakan hasil konflik antara individu dengan masyarakat atau lingkungan sosialnya. Jika “S” melihat perbedaan yang sangat luas antara pandangannya tentang dirinya sendiri dengan yang diinginkannya maka akan muncul perasaan inadekuat dalam menghadapi tantangan di kehidupan ini, dan hal ini menghasilkan kecemasan atau anxiety.
Jadi, menurut pandangan humanist-eksistensialis kasus “s” terletak pada konsep diri; yang terjadi sehubungan dengan adanya gap antara konsep diri yang sesungguhnya (real self) dengan diri yang diinginkan (ideal self). Hal ini muncul sehubungan dengan tidak adanya kesempatan bagi individu untuk mengaktualisasikan dirinya sehingga perkembangannya menjadi terhalang. Akibatnya, dalam menghadapi tantangan atau kendala dalam menjalani hari-hari dikehidupan selanjutnya, ia akan mengalami kesulitan untuk membentuk konsep diri yang positif.

III. Penanganan terhadap Kasus “S”
Upaya menangani kasus “s” dapat dijelaskan melalui pendekatan psikodinamika, humanistik-eksistensialis atau pendekatan behavioristik maupun kognitif:
1) Menurut teori psikodinamika, gangguan ini berakar pada keadaan internal individu sehubungan dengan adanya konflik intrapsikis yang dialami “s” sehingga ia mengembangkan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri, maka upaya menanganinya juga terarah pada pemberian kesempatan bagi “s” untuk mengeluarkan seluruh isi pikiran atau perasaan yang muncul dalam dirinya. Asumsinya adalah jika “s” bisa menghadapi dan memahami konflik yang dialami, ego akan lebih bebas dan tidak harus terus berlindung di balik mekanisme pertahanan diri yang dikembangkannya. Tehnik dasar yang digunakan disebut free association; “s” diminta untuk menjelaskan secara sederhana tentang hal-hal yang ada dalam pikirannya, tanpa melihat apakah itu logis atau tidak, tepat atau tidak, ataupun pantas atau tidak. Hal-hal dari alam bawah sadar atau tidak sadar yang diungkapkan akan dicatat oleh terapis untuk diinterpretasikan. Tehnik ini juga bisa dimanfaatkan saat menggunakan tehnik dream interpretation;“s” diminta untuk menceritakan mimpinya secara detail dan tepat. Masing-masing tehnik ini memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Dalam melaksanakan tehnik-tehnik tersebut di atas, ada dua hal yang biasanya muncul, yaitu apa yang disebut dengan resistance (yaitu individu bertahan atau beradu argumen dengan terapis saat terapis mulai sampai pada bagian yang sensitif), dan transference(yaitu individu mengalihkan perasaannya pada terapis dan menjadi bergantung.

2) Menurut teori humanistik-eksistensial yang melihat kasus “s” sebagai hasil konflik diri yang terkait dengan keadaan sosial dimana pengembangan diri menjadi terhambat, maka teori ini lebih menyarankan untuk membangun kembali diri yang rusak (damaged self). Tehniknya sering disebut sebagai client centered therapy yang berpendapat bahwa setiap individu memiliki kemampuan yang positif yang dapat dikembangkan sehingga ia membutuhkan situasi yang kondusif untuk mengeksplorasi dirinya semaksimal mungkin. Setiap permasalahan yang dialami oleh setiap individu sebenarnya hanya dirinyalah yang paling mengerti tentang apa yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, “s” sendirilah yang paling berperan dalam menyelesaikan permasalahan yang mengganggu dirinya. Karena menurut pandangan teori ini sebagai hasil dari belajar (belajar menjadi cemas) maka untuk menanganinya perlu ditakukan pembelajaran ulang agar terbentuk pola perilaku baru. Tehnik yang digunakan adalahsystematic desentisitization, yaitu mengurangi kecemasan dengan menggunakan konsep hirarkhi ketakutan, menghilangkan ketakutan secara perlahan-lahan mulai dari ketakutan yang sederhanasampai ke hal yang lebih kompleks. Pemberian reinforcement (penguat) juga dapat digunakan dengan secara tepat memberikan variasi yang tepat antara pemberian reward – jika ia memperlihatkan perilaku yang mengarah keperubahan ataupun punishment – jika tidak ada perubahan perilaku atau justru menampilkan perilaku yang bertolak belakang dengan rencana perubahan perilaku.
3) Pendekatan kognitif yang melihat kasus “s” sebagai hasil dari kesalahan dalam mempersepsi ancaman(misperception of threat) menawarkan upaya mengatasinya dengan mengajak individu berpikir dan mendesain suatu pola kognitif baru. David Clark dkk (dalam Acocella dkk, 1996) mengembangkan desain kognitif yang melibatkan 3 bagian yaitu : 1. Identifikasi interpretasi negatif yang dikembangkan individu tentang sensasi tubuhnya. 2. Tentukan dugaan atau asumsi dan arahkan alternatif interpretasi, yang non-catastrophic. 3. Bantu individu menguji validitas penjelasan dari alternatif-alternatif tersebut. Dengan kata lain, para ahli dari pendekatan kognitif ini menyatakan bahwa tujuan dari terapi sebagai upaya menangani kasus “s” adalah membantu “s” melakukan interpretasi sensasi tubuh dalam cara yang non-catastrophic.


http://kebijakansosial.org/2010/01/26/aplikasi-teori-psikologi-pada-kasus-penyesuaian-diri/

Unknown

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar