Tingkatan-tingkatan tawakal antara lain: tawakal level awwam, tawakal khawas, tawakal khawasul khawas.
Tawakal berasal dari kata “wakal” yang berarti “mewakilkan”.
“Tawakkal” berarti memberikan perwakilan, kepasrahan, dan penyerahan
diri kita kepada Allah. “Tawakkal” ialah menyamakan yang ada pada diri
manusia, banyak ataupun sedikit.
Dengan kata lain, sepanjang kita masih mau membedakan yang banyak dan
yang sedikit di dalam diri kita, maka kita bukanlah orang yang
bertawakal. Biasanya kalau kita diberikan banyak, maka kita berterima
kasih, tetapi jika diberi sedikit ataupun tak diberi, maka kita
mengeluh. Kata-kata banyak dan sedikit bagi orang yang sudah bertawakal
kepada Allah tidak lagi menjadi signifikan. Sudahkah kita seperti ini?
Pendapat lain menyatakan, bahwa tawakal adalah menanggalkan keinginan yang bersifat abstrak.
Ada orang yang hidup dengan angan-angan, bercita-cita untuk menjadi
ini dan itu. Orang yang bertawakal takkan dibuai oleh angan-angan. Orang
yang bertawakal angan-angannya hanyalah ingin menyerahkan dirinya dan
Allah menerima dirinya.
Tawakal ialah ketetapan seorang hamba bersama Allah tanpa
ketergantungan. Kalau kita masih tergantung kepada makhluk Allah, maka
ini bukanlah tawakal.
Seorang istri takkan menggantungkan nasib sepenuhnya kepada suaminya.
Demikian pula sebaliknya. Seorang karyawan takkan menggantungkan diri
sepenuhnya kepada pimpinannya. Dia tergantung sepenuhnya kepada Allah.
Tawakal ialah menyempurnakan keyakinan kepada Allah. Keyakinan itu
takkan terjadi kecuali dengan berbaik sangka kepada Allah, dan
mempercayai sepenuhnya terhadap rezeki yang dijanjikan, serta meridhai
terhadap ketentuan yang berlaku dari qadha’ dan qadarnya. Jika keyakinan
seperti ini sudah sempurna di dalam hati kita, maka inilah yang
dinamakan sebagai “tawakkal”.
Selama kita masih mengira-ngira negatif terhadap qadha’ dan qadar Tuhan,
berburuk sangka terhadap Tuhan, kecewa terhadap pemberian Tuhan, maka
kita tidak termasuk sebagai orang yang “mutawakkilin”.
Tawakal ialah menyempurnakan keyakinan kepada Allah. Kalangan para
sufi menganggap, bahwa tawakal adalah “maqam puncak” (anak tangga
puncak).
Ada suatu riwayat:
Hasan saudara Sinan mengatakan, sudah empat belas kali aku
melaksanakan ibadah haji dengan kaki telanjang bertawakal. Kakiku
tertusuk duri, namun aku tidak mencabutnya agar tidak merusak tawakal.
Jangan menggunakan akal untuk mencerna riwayat ini. Yang pasti, kita
tidak akan melakukan hal seperti ini. Akal kita mengatakan, bahwa ini
adalah orang gila. Namun buktinya, ternyata orang ini tidak merasa
sakit, bahkan ia tidak cacat sedikit pun, ia telah bersahabat dengan
duri yang menusuknya.
Ada suatu rombongan dari Syam datang ke seorang ulama bernama Bisyr
Al-Hafi. Mereka meminta ikut beribadah haji bersama Bisyr. Lalu dijawab
oleh Bisyr, bahwa ia mau asalkan mereka akan ikut dengan yang
disyaratkannya. Ada tiga persyaratan yang diajukan oleh Bisyr: Pertama,
kita tidak boleh membawa perbekalan apapun. Kedua, kita tidak boleh
meminta apapun kepada siapapun. Ketiga, kita tidak boleh menerima apapun
dari siapapun.
Rombongan dari Syam itu kemudian berkata, bahwa syarat pertama dan
kedua sanggup mereka terima. Sedangkan syarat ketiga tak sanggup mereka
laksanakan. Maka Bisyr Al-Hafi mengatakan, “Kalau begitu, kalian ini
adalah orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dengan tawakal pada
perbekalan haji, tidak tawakal kepada Allah.”
Itulah sebabnya, masih banyak di lingkungan Ka’bah orang-orang yang
tidak mempunyai apa-apa, karena menganggap itu adalah Kota Tuhan. Tidak
mungkin ada orang yang mati kelaparan kalau ia berangkat dengan tawakal,
karena Mekah adalah kota berkah.
Abu Hamzah Al-Khurasani mengatakan:
Suatu saat aku pergi melaksanakan ibadah haji. Di tengah perjalanan,
aku terjatuh ke dalam sebuah sumur. Nafsuku mendesak agar aku meminta
tolong, namun aku tidak melakukannya, karena aku pasrah untuk
menyerahkan segala jiwa ragaku untuk mencari ridha Allah di tanah suci.
Begitu aku berpikir demikian, maka lewatlah dua orang laki-laki di
pinggir lubang sumur. Salah seorang di antaranya berkata kepada
temannya, “Mari kita tutup lubang sumur ini agar tidak ada orang yang
terjatuh ke dalamnya!” Temannya kemudian menyetujui hal itu.
Aku ingin berteriak, tetapi aku berkata kepada nafsuku, bahwa aku
hanya akan berteriak kepada Dia (Allah) yang lebih dekat kepadaku
daripada dua orang itu. Lalu aku terdiam saja hingga mulut sumur itu
ditutupi, kemudian dua orang itu pergi.
Satu jam kemudian, aku mendengarkan suara sesuatu yang berisik yang
berusaha untuk membuka penutup sumur itu, kemudian mengulur-ngulurkan
kakinya ke dalam sumur, sambil ia berkata kepadaku dengan berbisik
lembut, “Berpeganglah pada kakiku!”
Lalu aku pun berpegang pada kakinya, dan ia mengeluarkanku dari sumur
itu. Ternyata yang mengeluarkanku dari sumur itu adalah seekor binatang
buas. Setelah itu, ia pergi dan meninggalkanku. Tiba-tiba aku
mendengarkan suara entah dari mana, “Wahai Abu Hamzah, bagaimana
pendapatmu? Kami telah menyelamatkanmu dari kebinasaan dengan
kebinasaan.”
Sumur membinasakan, seandainya tidak diangkat secepatnya, maka Abu
Hamzah akan kehabisan oksigen. Tapi dia diangkat oleh kebinasaan, karena
binatang buas yang kelaparan seperti itu memang mencari manusia untuk
dimangsa, namun ternyata binatang buas itulah yang menolongnya.
Keajaiban seperti ini pernah kita alami. Ketika kita pernah mencapai
suatu puncak tawakal, tidak semua urusan kita itu tawakal puncak kepada
Allah. Tetapi insya Allah di antara kita mungkin pernah ada yang
mencapai puncak tawakalnya kepada Allah, dan pada saat itu juga Tuhan
memberikan keajaiban kepadanya.
Tuhan tidak pernah mengecewakan kekasihnya. Karena itu, jadilah kekasih Tuhan.
Ada yang mengatakan, bahwa berdiam diri: tafakkur, tazakkur, dan
pasrah, termasuk juga tidak berdoa terhadap jalan keputusan Allah, maka
adalah lebih sempurna, rela menerima apa yang sudah berlalu daripada
memilih dan mengikuti hak dan hasrat kemauannya.
Orang yang terlalu banyak berdoa jangan sampai tidak pernah melakukan
tazakkur dan tafakkur. Biasanya, orang yang banyak tafakkur itu materi
doanya kurang. Biasanya, orang yang banyak materi doanya itu kurang
tafakkurnya.
Seandainya ada pilihan, lebih baik mana kita memperdalam tafakkur dan
tazakkur kepada Allah, memasrahkan dan menyerahkan diri menyebut
nama-Nya dibandingkan berdoa sebanyak-banyaknya?
Ternyata, lebih baik tafakkur sebanyak-banyaknya dibandingkan berdoa sebanyak-banyaknya. Dalam suatu hadis shahih disebutkan:
Barangsiapa lebih sibuk berzikir kepada-Ku daripada berdoa, niscaya
Aku akan memberikan yang lebih utama daripada yang diberikan kepada
orang-orang yang meminta kepada-Ku.
Berdoa itu mulia. Tetapi jauh lebih mulia kalau kita berzikir dan
bertafakkur kepada-Nya. Yang keluar dari mulut orang-orang yang mencari
Tuhan itu sesungguhnya bukanlah doa, melainkan munajjat.
Munajjat itu misalkan permohonan doanya paling-paling hanya satu dua
buah saja, yang banyak itu adalah penyerahan dirinya kepada Tuhan,
kepasrahan dirinya kepada Tuhan, memuji-muji Tuhannya, merindukan
Tuhannya, merindukan Nabinya, memohon agar rindunya terhadap Rasulullah
disampaikan oleh Allah. Yang sering keluar adalah permohonan pengampunan
dosa. Mana ada doa-doa para wali yang meminta kendaraan mewah, yang
meminta jabatan seperti halnya kita. Bagi mereka, itu adalah
sampah-sampah dunia yang tidak mesti kita rindukan. Permintaan yang
paling mulia ialah tafarruq ilallah (mendekatkan diri kita kepada
Allah).
Jangan sampai doa yang kita panjatkan kepada-Nya itu didikte oleh
hawa nafsu kita. Pekerjaannya rasio adalah selalu meminta hal-hal yang
materialistis, juga kepuasan biologis. Pekerjaan nafsu adalah selalu
ingin puas dengan seleranya, sehingga rohaninya tidak pernah kebagian
konsumsi. Konsumsi rohani adalah tafarruq ilallah (kedekatan diri dengan
Allah).
Mungkin kita memang masih jauh kelas tawakal seperti ini. Tetapi,
paling tidak kita tahu, bahwa sudah ada orang yang sampai ke tingkat
tawakal yang tinggi. Dan orang yang sudah sampai ke tingkat tawakal yang
tinggi ini sudah begitu banyaknya. Dengan demikian, setidaknya dalam
diri kita ada prinsip “mengapa mereka bisa, kita tidak bisa?” Tidak ada
dispensasi Tuhan bahwa orang yang bisa tawakal hingga tingkat yang
tinggi itu hanya para nabi. Siapapun anak cucu Adam bisa naik ke jenjang
puncak tawakal. Tidak peduli miskin, tidak peduli kaya, melainkan
siapapun bisa.
Ada sahabat Rasulullah yang bernama Sahal, ia ditanya tentang tawakal.
“Apakah serendah-rendahnya tawakal?”
Dijawab oleh Sahal, “Meninggalkan anak-anak.”
Ditanya lagi, “Apakah tawakal yang sedang?”
Jawabnya, “Meninggalkan ikhtiar.”
Kemudian ditanya lagi, “Apakah tawakal yang tertinggi?”
“Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali orang yang telah sampai di tengahnya tawakal.”
Sepanjang kita masih dipenuhi oleh angan-angan, apalagi angan-angan
duniawi, meskipun itu hak kita, dan itu tidak terlarang, tetapi kalau
angan-angan itu memadati pikiran kita, memadati benak kita, maka salat
tahajud kita di tengah malam pun sepertinya tak ada gunanya jika dilihat
dari perspektif tasawuf.
Seharusnya yang kita ingat hanya Allah yang berdekatan dengan kita di
tengah malam itu, namun mengapa yang kita ingat terus malahan adalah
angan-angan duniawi itu?
Sudah lupa berapa rakaat yang kita lakukan. Bukan lupa karena ingat
Tuhan, melainkan lupa karena angan-angan di dalam benaknya itu dipakai
salat tahajud, sehingga salat tahajudnya itu entah ke mana perhatiannya.
Begitu juga ketika ia melakukan ibadah yang lain, tetap saja tidak
mempan untuk mendekatkan diri dengan Allah, karena dia terhijab
(terdinding) oleh angan-angannya itu, walaupun angan-angan itu mulia
baginya dan tidak haram. Lebih celaka lagi kalau angan-angannya itu
adalah angan-angan yang haram. Isi salat tahajudnya adalah angan-angan,
sampah-sampah duniawi, sedangkan Tuhannya hilang.
Dalam suatu dialog, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Quraisy
ditanya tentang tawakal. Ternyata, pendapat para ulama berbeda-berbeda
definisinya tentang tawakal. Ini pertanda, bahwa tawakal itu merupakan
pengalaman yang sangat pribadi.
Apakah tawakal itu?
Beliau menjawab, “Tawakal adalah menggantungkan diri kepada Allah
pada setiap keadaan, dalam keadaan gembira, berkecukupan, maupun dalam
keadaan tidak berkecukupan, sama saja. Hidup ini tergantung kepada
Allah, berpegang teguh kepada Allah. Tidak akan menangis meronta-ronta
karena kehilangan anggota keluarganya yang dijemput oleh ajal. Tidak
akan sedih keterlaluan manakala harta kekayaannya itu dicuri orang.
Bahkan, tidak akan menderita sekalipun jika dia digerogoti penyakit,
karena hidupnya sudah tergantung sepenuhnya kepada Allah.”
Lalu ditanya lagi, “Apalagi setelah itu?”
Dijawabnya, “Meninggalkan menggantungkan diri pada setiap sebab yang
dapat menyampaikan kepada sebab lain, sehingga Al-Haq itu yang
memerintahkan untuk demikian.”
Al-Haq yang dimaksud adalah Allah.
Misalkan kita sebagai pegawai. Menjadi pegawai menyebabkan datangnya
rezeki. Kalau kita masih menggantungkan diri pada sebab pekerjaan itu
sendiri, seolah-olah jika kita tidak bekerja, ataupun kalau nanti
di-PHK, maka sudah tak ada lagi kehidupan. Orang yang seperti ini
tawakalnya sangat rendah.
Orang yang tawakalnya kepada Tuhan, maka ia takkan pernah takut
dipecat. Demi mempertahankan prinsipnya hingga dia di-PHK, maka ini tak
ada masalah baginya. Malah sebaliknya, justru orang yang tertindas itu
biasanya lebih tinggi loncatan ke atasnya.
Allah mempergilirkan nasib setiap orang. Yang tadinya berkuasa
menindas yang lemah, maka kemudian yang lemah malah menjadi penguasa
menggantikan dirinya. Jika melakukan pengulangan sejarah, maka akan
terjadi lagi pada dirinya. Inilah tabiat naluri kemanusiaan. Tetapi bagi
seorang yang tawakal takkan pernah menjalani kegiatan seperti ini.
Karena itulah, tidak ada orang yang tertindas. Tertindas dan tidak
tertindas baginya sama saja.
Abu Said Ahmad bin Isa Al-Harras menyatakan, bahwa tawakal itu adalah
goncangan dengan tanpa ketenangan, dan ketenangan tanpa kegoncangan.
Maksudnya, kalau orang sudah tawakal kepada Allah, maka ia akan
tergetar, tergoncang dadanya. Siapakah yang tidak goncang kalau bertemu
dengan sang kekasih?
Kegoncangan tanpa ketenangan merupakan suatu isyarat pada
perlindungannya kepada wakilnya. Kalau kita sudah berlindung kepada Yang
Maha Dahsyat dan Maha Kuat, maka kita akan tersedot oleh energi yang
amat besar, hingga diri kita akan goncang.
Ketenangan tanpa kegoncangan juga terjadi pada dirinya sendiri. Hal
ini ibarat satu mata uang yang memiliki dua sisi yang berbeda. Bermohon
dan bertawadhu’ di hadapan-Nya, seperti kegoncangan seorang anak kecil
dengan tubuhnya kepada ibunya.
Kadang-kadang ketika kita sangat rindu kepada Allah, maka kita
seperti kehilangan kekuatan normal kita, seperti kita tidak normal.
Orang tawakal itu ada fenomena fisiknya.
Abu Hasan Ali An-Naishaburi menyatakan, bahwa tawakal itu ada tiga
tingkatan: tawakal taslim dan taqwiz. Maka orang yang bertawakal itu
merasa tenang dengan janji Allah. Allah berfirman:
Dan tidak ada suatu makhluk melatapun di bumi melainkan Allah-lah
yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu
dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata
(Lauh Mahfuzh). (Q.S. Huud: 6)
Inilah dalil yang digunakan oleh orang-orang yang sampai pada tawakal puncak.
Orang yang bertaslim adalah orang yang menyerahkan diri dan segala
urusannya hanya kepada Allah. Itulah Islam. Maka cukup dengan diketahui
oleh Allah akan keadaannya, karena Allah mengetahui apa yang ada
padanya.
Orang yang bertaqwiz adalah orang yang pasrah, merasa ridha dengan
keputusan Allah, yaitu dengan segala yang dilakukan oleh Allah
kepadanya, baik itu sesuai dengan maksudnya ataupun tidak.
Kalau orang sudah berkepribadian taslim, maka penyerahan dirinya
sangat kuat. Tapi kalau orang sudah bertaqwiz, maka kepasrahan dirinya
sangat kuat. Jadi, taqwiz itu diawali dengan taslim. Efek yang timbul
dari penyerahan diri itu adalah kepasrahan.
Kalau sudah muncul perasaan ini di dalam diri kita, jadi Islam itu
bukan hanya dilakukan, namun juga dirasakan. Islam itu adalah penyerahan
diri. Orang yang bertaqwiz itu adalah orang yang sudah pasrah. Jadi,
sesudah Islam itu kita harus bertaqwiz.
Penjelasan orang-orang yang bertawakal:
Ketahuilah bahwa ilmu itu dapat mewariskan keadaan. Keadaan itu dapat membuahkan amal perbuatan.
Terkadang orang menyangka, bahwa makna tawakal itu adalah meninggalkan usaha dengan badan.
Bagi orang yang belum berpengalaman menjadi mutawakkilin, maka ia
akan menghadap-hadapkan dan mempertentangkan antara tawakal dengan
syariah. Sesungguhnya, pembekalan tawakal itu nampak dalam gerak-gerik
seorang hamba. Orang yang cerdas menjalani tawakal itu, maka dua-duanya
akan sukses. Dunianya akan sukses, akhiratnya akan lebih sukses lagi.
Mengapa? Karena baginya pekerjaan dunianya juga merupakan pekerjaan
akhirat. Bagi dirinya, pekerjaan dunia dan akhirat itu adalah satu
paket. Ini adalah sinergi.
Mampukah kita membedakan teh dengan airnya? Mampukah kita membedakan
matahari dengan cahayanya? Mampukah kita membedakan antara laut dengan
ombaknya? Mampukah kita membedakan antara api dengan panasnya?
Tidak, kita takkan mampu untuk membedakannya.
Orang yang bertawakal, maka pada satu sisi dia pasrah seperti
seonggok mayat, tetapi pada sisi lain dia juga akan menunjukkan sesuatu
yang sangat aktif pada dirinya. Aktivitasnya itu ada tiga: dia berjihad,
fisiknya bergerak, mengerjakan pekerjaan sosial tanpa mengenal lelah.
Hal ini dilakukannya karena dia ikhlas. Ciri orang yang mutawakkilin
adalah dia juga berijtihad, berpikir mencari solusi terhadap
permasalahan-permasalahan umat.
Dalam suatu riwayat disebutkan:
Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dengan mengendarai
unta. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah untaku aku biarkan saja?”
Dijawab oleh Rasulullah, “Jangan. Ikatkan dahulu unta itu, barulah bertawakal.”
Rasulullah mengajarkan kita, bahwa tawakkal bukanlah dengan cara
melepaskan unta pada sembarangan tempat, kemudian menyerahkan kepada
Tuhan untuk mengawasinya.
Terkadang orang bertasawuf hanya mengambil satu sisi saja. Terkadang
ada yang terlalu rasional, dan terkadang juga ada yang terlalu mistis.
Sesungguhnya kedua-duanya tidak bisa dipisahkan. Bagaimanakah dua wujud
ini bisa menyatu?
Makna kehidupan ini seperti halnya Tuhan. Tuhan itu mempunyai
dualitas. Satu sisi Dia Maha Keras, tapi di sisi lain Dia juga Al-Lathif
(Maha Lembut, Maha Halus). Mengapa bisa seperti ini?
Kedua-duanya tidak perlu dipertentangkan, karena merupakan alat kelengkapan yang Allah anugerahkan ke dalam diri kita. []
Disarikan dari Pengajian Tasawwuf yang disampaikan oleh Prof. Dr. H.
Nasaruddin Umar, M.A. pada tanggal 14 Januari 2009 di Masjid Agung Sunda
Kelapa-Jakarta.
Unknown
DeveloperCras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.
0 komentar:
Posting Komentar